Bismillahhirrohmaanirrohiim
Pagi ini
saya ingin menuturkan kisah yang mungkin biasa, tapi menurut saya ini adalah
hal yang tidak biasa.
Entah kapan
persisnya saya kenal dengan sebut saja A. Dia adalah seorang siswa di sebuah
sekolah yang saya pun kini berkecimpung di sana. Sebelum saya kenal dengannya,
saya pernah mendengar cerita tentangnya yang terdengar tidak positif. Yaa biasalaah…kenakalan
remaja. Ketika itu saya pikir, “Oh ya sudah…mudah-mudahan dia bisa menjadi
lebih baik”.
STOP‼
saya tidak memikirkan anak itu. Bahkan wajahnya pun lupa-lupa ingat, karena
saya memang tidak pernah masuk ke kelasnya. Berselang berapa minggu setelah
saya mendengar cerita tentangnya, selesai shalat asar (ketika itu saya sedang
piket) seorang anak duduk di samping saya. Dia tanya apakah saya guru baru? Asal
saya, asal kampus saya, saya ngajar mata pelajaran apa, ngajar di kelas berapa,
dan saya tak ingat apakah dia nanya nama saya atau tidak. Tentunya semua
pertanyaan saya jawab dengan mudah dan santai. Awalnya dia mengira saya adalah
guru agama. Entah kenapa sebagian anak di sekolah yang pernah ngorbol dengan
saya mengira saya guru agama. Masya Allah.
Tiba-tiba
anak itu bilang, “Bu, saya mau belajar ngaji!” Jujur, saya kaget tapi juga
senang. Jarang sekali ada anak laki-laki yang mau jujur bilang mau belajar
ngaji. Bahkan saya ngga pernah lihat sebelumnya. Saat itu juga saya bilang, “Boleh..boleh
banget.”
“Ya udah
atuh bu, sekarang aja”, what? Sekarang?
Oow..saat itu memang kelas itu sedang praktek dan di bagi menjadi 2 kloter. Dan
karena saat itu juga suasana sedang lengang, “hmm oke deh”. Akhirnya 2 orang
temannya pun ikut gabung. Singkat cerita, selesai ngaji mereka bilang, “bu,
minggu depan belajar lagi yaa? Boleh?”, “oke ^_^”. Sip hari itu saya punya
kenalan baru, dan ternyata anak pertama yang minta belajar ngaji dengan saya
itu adalah anak yang pernah saya dengar ceritanya yang tadi saya ceritakan di
awal. Hmm,, saya pikir anak ini masih bisa ‘mendengar’ dengan baik, dia bahkan
tak malu minta belajar ngaji. Kesimpulan saya, anak ini bisa jadi lebih baik.
Sayang,
hingga saat ini kita tak pernah kumpul untuk belajar ngaji lagi, karena memang
waktu-waktu kemarin sudah sering libur, bahkan libur panjang. Tapi saya sempat
memintanya dan teman-temannya untuk fotokopi modulnya karena saya tak sempat
fotokopi sendiri.
Kemarin,
saya lihat dia terlihat lebih murung. Akhirnya saya berkesempatan untuk ngobrol
sebentar dengan anak itu. Saya sapa dia, kabarnya, tanya gimana ngajinya. Katanya
dia belajar di rumah, walaupun sendiri. Oke, kita sepakati lagi untuk waktu
belajar ngaji.
Ketika saya
menunggu untuk sholat, dia bilang, “Hayu bu, sholat bareng”. Subhanallah, ini lebih baik menurut
saya. Tapi karena tidak memungkinkan (musholanya penuh), tidak jadi berjamaah.
Setiap orang
punya potensi untuk berbuat baik ataupun buruk. Dan semua orang bisa berubah ke
arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk. Hal itu pun didorong oleh
faktor-faktor lainnya selain faktor dari dalam dirinya sendiri.
Setelah sholat,
dia mendekat dan entah kenapa dia bercerita kalau dirinya sedang bingung,
galau, risau, atau apalah itu namanya. Saya dengarkan ceritanya. Saya tersentak
ketika dia bilang kemarin-kemarin sakit dan dokter bilang gejala kanker otak. Innalillahi, anak seusia dia. Ketentuan Allah
memang untuk setiap makhluk, muda tua bukanlah urusan kita. Katanya sekarang
suka pusing, dan obatnya sudah habis. Tapi dia tak mau bilang ke orang tuanya
kalau obatnya sudah habis. Dia tak mau diperiksa ke dokter lagi. Dia tak mau
tahu lebih lanjut tentang penyakitnya. Namun, yang saya senang dari
kata-katanya adalah “saya mau berubah bu, saya mau menjadi lebih baik, saya mau
buktikan ke orang lain kalau saya bisa”. Saya mengangguk dan tersenyum lebar. Saya
hanya bisa mendukung, saya bujuk dia agar mau pergi ke dokter. Usia itu urusan
Allah, kalaupun dia divonis penyakit yang mengerikan, bukan hal yang tidak
mungkin saya yang akan meninggal duluan. Bukan karena penyakit, karena kematian
itu memang sudah ditentukan hanya saja kita tidak tahu kapan eksekusinya. Menunggu
waktu.
Saya hanya
titip agar dia tak meninggalkan sholat. Tak usah pikirkan kata-kata orang lain
yang membuatnya tak nyaman. Jalanilah kehidupannya dengan baik. Pikirkan masa
depannya (dunia akhirat). Tak usah pikirkan penilaian buruk orang lain terhadap
kita. Biar Allah saja yang menilai.
Setelah mendengar
ceritanya, pikiran saya terbang, bagaimana kalau saya dieksekusi beberapa detik
atau menit atau jam kemudian? Apa yang sudah saya siapkan? Bekal apa yang sudah
saya siapkan? Cukupkah? Atau malah tak ada sama sekali? Innalillah..naudzubillah..ngeri. Yaa Rabb, istiqomahkanlah aku di
jalan-Mu, matikanlah aku dalam keadaan khusnul khotimah. Begitu pun denganmu,
nak. Aamiin.